istighotsah kubro di Sidoarjo

ESSAY

Kontribusi NU dalam Menghadapi Permasalahan Bangsa dan Negara


Dosen Pengampu
M Aris Karomy






Oleh :

Eka Dian Aprilia / PGSD A      (D24150078)



Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo
2017


Nahdlatul Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga didasari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau belandasehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan. Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa belanda).
Peran NU pada masa kemerdekaan, salah satu diantara anggota BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar dan bentuk Negara. Dari sinilah terlihat jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tidak jauh dari para Ulama NU.
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI yaitu 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India.NU juga mendeklarasikan perang suci berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya.''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan massal, yang di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama ikut terlibat aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut terbentuklah organisasi – organisasi perlawanan terhadap belanda antara lain Hisbullah dan Sabilillah. KH. Abdul Wahid Hasyim dan beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-in (parlemen buatan jepang).Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali dan pada bulan September 1943 permintaan tersebut dikabulkan.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikare (ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam rukuk dalam sholat).
KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepadaseluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram..
KH. Abdul Wahid Hasyim tidak henti – hentinya mengadakan kontak dengan para tokoh nasionalis guna mendesak Jepang segera mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan. Perjuangan mereka berhasil hingga pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, muhammad yamin, achmad Soebardjo, Abikoeseno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim AA Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut panitia sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada piagam jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Selain itu peran pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajahan yang merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren sehingga pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Dari segi foto diaatas, sudah terlihat jelas Santri NU tau menempatkan letak bendera RI. Bahkan ada payung diatasnya agar bendera tidak terasa panas. Dan rela bahwa dirinya yang tersengat sinar matahari. Sedemikian bangganya Santri NU yang mencintai NKRI.
            Menolak lupa dengan perjuangan NU pada masa orde lama hingga masa orde baru. NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan. Pembentukan PPP mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926.
            Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
            Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.
PW NU Jatim punya gawe akbar. Ormas Islam terbesar di Indonesia itu bakal mengadakan Istighosah Kubro di kompleks stadion Gelora Delta, Sidoarjo, pada Minggu (9/4). Istighosah Kubro ini tergolong spesial. Sebab, event yang diinisiasi para kiai sepuh Nahdlatul Ulama itu terakhir kali digelar 21 tahun silam, tepatnya pada 21 Desember 1996.
kondisi Indonesia belakangan ini sungguh memperhatikan. Di tengah masyarakat menjamur paham keagamaan yang menjurus pada radikalisme yang mengancam NKRI. Paham liberalisme dan kapatalisme juga menjangkiti bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadi persoalan kebangsaan dan kesenjangan sosial dan keadilan.
Wakil Rais Aam PWNU Jawa Timur KH Agus Ali Masyhuri menambahkan istighosah kubro diselenggarakan berangkat dari keprihatinan para kiai terhadap kondisi bangsa akhir-akhir ini. Dia menyebut umat Islam saat ini beragama tapi kering dari visi keilaihan, maraknya aksi kekerasan, serta minimnya tokoh atau pemimpin yang layak diteladani.
Situasi kebangsaan saat ini membuat para kiai sepuh merasa prihatin. Karena itu, para ulama khos NU tersebut menggelar sebuah pertemuan di Kediri pada 27 Februari lalu. ”Dari situlah, beliau-beliau (ulama sepuh, Red) meminta agar dilaksanakan Istighosah Kubro,” kata Sekretaris PW NU Jatim Prof Ahmad Muzakki.
Apa makna ‘Istighotsah’? kata Istighotsah berasal dari kata “Al-ghouts” yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) “istaf’ala” atau “istif’al” menunjukkan arti permintaan atau permohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif’al menjadi istighfar yang berarti memohon ampunan.
Selain Istighosah, bakal dilangsungkan doa bersama yang dipimpin sembilan kiai sepuh. Mereka adalah KH Anwar Mansur, KH Miftachul Akhyar, KH Nawawi Abdul Jalil, KH Tamim Romli, KH Kholil Asad, dan KH Aza'im. Lalu, KH Anwar Iskandar, KH Zainudin Jazuli, serta KH Nurul Huda Jazuli.
Muzakki menegaskan, Istighosah Kubro itu murni kegiatan keagamaan, tak ada unsur politik apapun di dalamnya. Karena itu, para kiai sepuh dan panitia sepakat tidak memberikan ruang khusus bagi tokoh politik. Namun, ada beberapa pejabat negara maupun tokoh politik yang ingin hadir. Istighosah Kubro juga diisi pembacaan amanat oleh Rais Am PB NU KH Makruf Amin serta maklumat para kiai sepuh.
Maklumat Syuriah PWNU Jawa Timur pada Istighotsah Kubro, harla ke-94 Nahdhatul Ulama, yakni :
1.      Menjaga agama dari hal-hal yang merusak (Hifdzud Din ‘Amma Yufsid) adalah wajib, sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh para Ulama
2.      Menjaga Negara dari hal-hal yang merusak tatanan (Hifdzud Daulah ‘Amma Yufsid) adalah wajib, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harta terbesar Bangsa dan Negara ini.
3.      Menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (Amr Bil Ma’ruf Wa Nahy ‘Anil Munkar) wajib ditegakkan secara bijaksana untuk menjunjung tinggi marwah agama dan martabat manusia demi kemajuan Bangsa dan Negara ini.
4.      Seluruh pemimpin bangsa dan Negara ini wajib menjalankan amanah dan menegakkan keadilan secara bersamaan sebagai prinsip untuk mencapai kebajikan bersama.
5.      Menjaga ummat (Ri’ayatul Ummah) dari kebangkrutan moral adalah tanggung jawab yang wajib ditunaikan oleh seluruh pemimpin Agama, Bangsa dan Negara ini.
6.      Seluruh komponen umat wajib untuk semakin mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah SWT sebagai bentuk tanggung jawab pribadi dan keumatan.

Dengan isi maklumat ini para Ulama NU berharap agar seluruh umat lebih Nasionalis dan bijak dalam menyikapi permasalahan Negara, Istighotsah ini juga dilakukan di Kebumen Jawa Tengah. Harapan Ulama tetap sama untuk mengajak seluruh ummat ikut serta dalam menjaga keutuhan NKRI. apalagi dengan maraknya hoax sehingga membuat perang saudara seIbu pertiwi. Para Ulama NU berharap agar seluruh ummat jangan mau diadu domba oleh pihak tak bertanggung jawab, sehingga kita semua patut memilah-milah berita Provokator agar tidak dicernah mentah-mentah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL RINGKASAN PROYEK

skenario temu manten

legenda Agal Agil