istighotsah kubro di Sidoarjo
ESSAY
Kontribusi NU dalam Menghadapi Permasalahan Bangsa
dan Negara
Dosen Pengampu
M Aris Karomy
Oleh :
Eka Dian Aprilia / PGSD A (D24150078)
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo
2017
Nahdlatul Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman,
juga didasari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat
pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat
itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang
menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa. Meskipun disadari
peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi
Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam
dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan
politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk menanamkan
rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau
belandasehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan. Hal
ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam
Volksraad (DPR masa belanda).
Peran
NU pada masa kemerdekaan, salah satu diantara anggota BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan
K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar dan bentuk Negara. Dari sinilah terlihat jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tidak jauh
dari para Ulama NU.
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat
kebangkitan nasional memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik
Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat
pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka
dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI yaitu 17 Agustus 1945,
karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris
kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa
tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah terutama
saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai
daerah di Indonesia.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri
dari jajahan India.NU juga mendeklarasikan perang suci berjihad melawan
penjajah bersama masyarakat lainnya.''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa
dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh
Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.Mereka mendeklarasikan resolusi
dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan
Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar
di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah
pemberontakan massal, yang di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama
ikut terlibat aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang
kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar
di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan tersebut terbentuklah organisasi – organisasi
perlawanan terhadap belanda antara lain Hisbullah dan Sabilillah. KH. Abdul
Wahid Hasyim dan beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-in
(parlemen buatan jepang).Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali
dan pada bulan September 1943 permintaan tersebut dikabulkan.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika
ada perintah untuk melakukan seikare (ritual penghormatan kepada Tenno Heika
dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam rukuk dalam sholat).
KH.
Hasyim Asy’ari menyerukan kepadaseluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul
Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram..
KH. Abdul Wahid Hasyim tidak henti – hentinya mengadakan kontak dengan
para tokoh nasionalis guna mendesak Jepang segera mewujudkan janji kemerdekaan
yang pernah diucapkan. Perjuangan mereka berhasil hingga pada tanggal 29 April
1945 dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan Penyelidik usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga
terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, muhammad yamin, achmad Soebardjo, Abikoeseno
Tjokrosoejoso, H. Agus Salim AA Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut
panitia sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada piagam jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945.
Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki
semangat nasionalisme yang tinggi. Selain itu peran pesantren sebagai front
perlawanan terhadap penjajahan yang merupakan kenyataan sejarah yang terjadi
disetiap tempat dan zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren sehingga pesantren
menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan.
Dari segi foto diaatas, sudah terlihat jelas Santri NU tau menempatkan letak
bendera RI. Bahkan ada payung diatasnya agar bendera tidak terasa panas. Dan
rela bahwa dirinya yang tersengat sinar matahari. Sedemikian bangganya Santri
NU yang mencintai NKRI.
Pada
dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan
Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering
disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses
kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan
kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata
lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai
politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak
lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar
tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun
merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami
sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi
dengan penguasa.
Masa
reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru
merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri.
Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh
penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga
dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan
peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan
ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral
menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk
merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi
gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari
luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar
Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus
sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam
bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan
secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila
ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang
berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka
sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut
paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak
mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.
kondisi Indonesia belakangan ini sungguh memperhatikan. Di tengah
masyarakat menjamur paham keagamaan yang menjurus pada radikalisme yang
mengancam NKRI. Paham liberalisme dan kapatalisme juga menjangkiti bangsa
Indonesia. Akibatnya, terjadi persoalan kebangsaan dan kesenjangan sosial dan
keadilan.
Wakil Rais Aam PWNU Jawa Timur KH Agus Ali Masyhuri menambahkan
istighosah kubro diselenggarakan berangkat dari keprihatinan para kiai terhadap
kondisi bangsa akhir-akhir ini. Dia menyebut umat Islam saat ini beragama tapi
kering dari visi keilaihan, maraknya aksi kekerasan, serta minimnya tokoh atau
pemimpin yang layak diteladani.
Situasi kebangsaan saat ini membuat para kiai sepuh merasa prihatin.
Karena itu, para ulama khos NU tersebut menggelar sebuah pertemuan di Kediri
pada 27 Februari lalu. ”Dari situlah, beliau-beliau (ulama sepuh, Red) meminta
agar dilaksanakan Istighosah Kubro,” kata Sekretaris PW NU Jatim Prof Ahmad Muzakki.
Apa
makna ‘Istighotsah’? kata Istighotsah berasal dari kata “Al-ghouts” yang
berarti pertolongan. Dalam tata bahasa arab kalimat yang mengikuti pola (wazan)
“istaf’ala” atau “istif’al” menunjukkan arti permintaan atau permohonan. Maka
istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron yang berarti
ampunan ketika diikutkan pola istif’al menjadi istighfar yang berarti memohon
ampunan.
Selain Istighosah, bakal dilangsungkan doa bersama yang dipimpin
sembilan kiai sepuh. Mereka adalah KH Anwar Mansur, KH Miftachul Akhyar, KH
Nawawi Abdul Jalil, KH Tamim Romli, KH Kholil Asad, dan KH Aza'im. Lalu, KH
Anwar Iskandar, KH Zainudin Jazuli, serta KH Nurul Huda Jazuli.
Muzakki menegaskan, Istighosah Kubro itu murni kegiatan keagamaan, tak
ada unsur politik apapun di dalamnya. Karena itu, para kiai sepuh dan panitia
sepakat tidak memberikan ruang khusus bagi tokoh politik. Namun, ada beberapa
pejabat negara maupun tokoh politik yang ingin hadir.
Istighosah Kubro juga diisi pembacaan amanat oleh Rais Am PB NU KH
Makruf Amin serta maklumat para kiai sepuh.
Maklumat
Syuriah PWNU Jawa Timur pada Istighotsah Kubro, harla ke-94 Nahdhatul Ulama,
yakni :
1.
Menjaga agama dari hal-hal yang merusak (Hifdzud Din ‘Amma Yufsid)
adalah wajib, sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh para Ulama
2.
Menjaga Negara dari hal-hal yang merusak tatanan (Hifdzud Daulah
‘Amma Yufsid) adalah wajib, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah harta terbesar Bangsa dan Negara ini.
3.
Menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (Amr Bil Ma’ruf
Wa Nahy ‘Anil Munkar) wajib ditegakkan secara bijaksana untuk menjunjung tinggi
marwah agama dan martabat manusia demi kemajuan Bangsa dan Negara ini.
4.
Seluruh pemimpin bangsa dan Negara ini wajib menjalankan amanah dan
menegakkan keadilan secara bersamaan sebagai prinsip untuk mencapai kebajikan
bersama.
5.
Menjaga ummat (Ri’ayatul Ummah) dari kebangkrutan moral adalah
tanggung jawab yang wajib ditunaikan oleh seluruh pemimpin Agama, Bangsa dan
Negara ini.
6.
Seluruh komponen umat wajib untuk semakin mendekatkan diri
(Taqorrub) kepada Allah SWT sebagai bentuk tanggung jawab pribadi dan keumatan.
Dengan
isi maklumat ini para Ulama NU berharap agar seluruh umat lebih Nasionalis dan
bijak dalam menyikapi permasalahan Negara, Istighotsah ini juga dilakukan di
Kebumen Jawa Tengah. Harapan Ulama tetap sama untuk mengajak seluruh ummat ikut
serta dalam menjaga keutuhan NKRI. apalagi dengan maraknya hoax sehingga
membuat perang saudara seIbu pertiwi. Para Ulama NU berharap agar seluruh ummat
jangan mau diadu domba oleh pihak tak bertanggung jawab, sehingga kita semua
patut memilah-milah berita Provokator agar tidak dicernah mentah-mentah.
Komentar
Posting Komentar